1. Pengertian Pendidikan
Kehidupan
suatu bangsa erat sekali kaitannya dengan tingkat pendidikan.
Pendidikan bukan hanya sekedar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari
generasi ke generasi, akan tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan
mengembangkan pengetahuan.
Pendidikan
bukan hanya menyampaikan keterampilan yang sudah dikenal, tetapi harus
dapat meramalkan berbagai jenis keterampilan dan kemahiran yang akan
datang, dan sekaligus menemukan cara yang tepat dan cepat supaya dapat
dikuasai oleh anak didik.
Pendidikan
merupakan usaha yang sengaja secara sadar dan terencana untuk membantu
meningkatkan perkembangan potensi dan kemampuan anak agar bermanfaat
bagi kepentingan hidupnya sebagai seorang individu dan sebagai warga
negara/masyarakat, dengan memilih isi (materi), strategi kegiatan, dan
teknik penilaian yang sesuai. Dilihat dari sudut perkembangan yang
dialami oleh anak, maka usaha yang sengaja dan terencana tersebut
ditujukan untuk membantu anak dalam menghadapi dan melaksanakan
tugas-tugas perkembangan yang dialaminya dalam setiap periode
perkembangan. Dengan kata lain, pendidikan dipandang mempunyai peranan
yang besar dalam mencapai keberhasilan dalam perkembangan anak.
Branata
(1988) mengungkapkan bahwa Pendidikan ialah usaha yang sengaja
diadakan, baik langsung maupun secara tidak langsung, untuk membantu
anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaan. Pendapat diatas seajalan
dengan pendapat Purwanto (1987 :11) yang menyatakan bahwa Pendidikan
adalah pimpinan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada
anak-anak, dalam pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi
diri sendiri dan bagi masyarakat.
Kleis (1974) memberikan batasan umum bahwa :
”pendidikan
adalah pengalaman yang dengan pengalaman itu, seseorang atau kelompok
orang dapat memahami seseuatu yang sebelumnya tidak mereka pahami.
Pengalaman itu terjadi karena ada interaksi antara seseorang atau
kelompok dengan lingkungannya. Interaksi itu menimbulkan proses
perubahan (belajar) pada manusia dan selanjutnya proses perubahan itu
menghasilkan perkembangan (development) bagi kehidupan seseorang atau
kelompok dalam lingkungannya”.
Proses
belajar akan menghasilkan perubahan dalam ranah kognitif (penalaran,
penafsiran, pemahaman, dan penerapan informasi), peningkatan kompetensi
(keterampilan intelektual dan sosial), serta pemilihan dan penerimaan
secara sadar terhadap nilai, sikap, penghargaan dan perasaan, serta
kemauan untuk berbuat atau merespon sesuatu rangsangan (stimuli).
Orang
yakin dan percaya untuk menanggulangi kemiskinan, cara utama adalah
dengan memperbesar jumlah penduduk yang bersekolah dan terdidik dengan
baik. Dengan kata lain, pendidikan dipandang sebagai jalan menuju
kemakmuran.
Manusia
dilahirkan dalam keadaan yang tidak berdaya sama sekali. Dia sangat
membutuhkan bantuan yang penuh perhatian dan kasih sayang dari orang
tuanya, terutama ibunya, supaya dia dapat hidup terus dengan sempurna,
jasmani dan rohani. Orang tualah yang pertama dan utama bertanggung
jawab terhadap pendidikan anaknya. Dalam ilmu jiwa dikenal dengan
istilah pertumbuhan dan perkembangan, yaitu supaya anak sempurna dalam
pertumbuhan dan perkembangannya.
Pertumbuhan
ialah perubahan-perubahan yang terjadi pada jasmani; bertambah besar
dan tinggi. Perkembangan lebih luas dari pertunbuhan ialah
perubahan-perubahan yang terjadi pada rohani dan jasmaniah. Dengan kata
lain, perkembangan merupakan suatu rentetan perubahan yang sifatnya
menyeluruh dalam interaksi anak dan lingkungannya.
Oleh karena itu Idris (1982:10) mengemukakan bahwa :
”Pendidikan
adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia
dewasa dengan si anak didik yang secara tatap muka atau dengan
menggunakan media dalam rangka memebrikan bantuan terhadap perkembangan
anak seutuhnya, dalam arti supaya dapat mengembangkan potensinya
semaksimal mungkin, agar menjadi manusia dewasa yang bertanggung jawab.
Potensi disini ialah potensi fisik, emosi, sosial, sikap, moral,
pengetahuan, dan keterampilan.”
2. Tujuan Pendidikan
Telah
kita ketahui bersama bahwa berhasil tidaknya suatu usaha atau kegiatan
tergantung kepada jelas tidaknya tujuan yang hendak dicapai oleh orang
atau lembaga yang melaksanakannya. Berdasarkan pada pernyataan ini, maka
perlunya suatu tujuan dirumuskan sejelas-jelasnya dan barulah kemudian
menyusun suatu program kegiatan yang objektif sehingga segala energi dan
kemungkinan biaya yang berlimpah tidak akan terbuang sia-sia.
Apabila
kita mau berbicara tentang pendidikan umumnya, maka kita harus
menyadari bahwa segala proses pendidikan selalu diarahkan untuk dapat
menyediakan atau menciptakan tenaga-tenaga terdidik bagi kepentingan
bangsa, negara, dan tanah air. Apabila negara, bangsa dan tanah air kita
membutuhkan tenaga-tenaga terdidik dalam berbagai macam bidang
pembangunan, maka segenap proses pedidikan termasuk pula sistem
pendidikannya harus ditujukan atau diarahkan pada kepentingan
pembangunan masa sekarang dan masa-masa selanjutnya.
GBHN tahun 1999 mencantumkan tentang tujuan pendidikan nasional :
”Pendidikan
nasional bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya
sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa”
Selanjutnya
tujuan pendidikan nasional tercantum dalan Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 yang menyatakan:
”Pendidikan
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”
Pernyataan-pernyataan
diatas tampak jelas bahwa pendidikan harus mampu membentuk atau
menciptakan tenaga-tenaga yang dapat mengikuti dan melibatkan diri dalam
proses perkembangan, karena pembangunan merupakan proses perkembangan,
yaitu suatu proses perubahan yang meningkat dan dinamis. Ini berarti
bahwa membangun hanya dapat dilaksanakan oleh manusia-manusia yang
berjiwa pembangunan, yaitu manusia yang dapat menunjang pembangunan
bangsa dalam arti luas, baik material, spriritual serta sosial budaya.
Sejarah
pendidikan kita dapat menerapkan perkembangan pendidikan dan
usaha-usaha perwujudannya sebagai suatu cita-cita bangsa dan negara,
masyarakat atau masa dan memberikan ciri khas pelaksanaan pendidikannya.
Setiap
tindakan pendidikan merupakan bagian dari suatu proses menuju kepada
tujuan tertentu. Tujuan ini telah ditentukan oleh mssyarakat pada waktu
dan tempat tertentu dengan latar belakang berbagai macam faktor seperti
sejarah, tradisi, kebiasaan, sistem sosial, sistem ekonomi, politik dan
kemauan bangsa.
Berdasarkan
faktor-faktor ini UNESCO telah memberikan suatu deskripsi tentang
tujuan pendidikan pada umumnya dan untuk Indonesia sendiri tujuan itu
telah ditetapkan dalam ketetapan MPR.
Pertama,
UNESCO menggaris bawahi tujuan pendidikan sebagai ”menuju Humanisme
Ilmiah”. Pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Maka humanisme ilmiah menolak ide
tentang manusia yang bersifat subjektif dan abstrak semata. Manusia
harus dipandang sebagai mahluk konkrit yang hidup dalam ruang dan waktu
dan harus diakui sebagai pribadi yang mempunyai martabat yang tidak
boleh diobjekkan. Dalam kerangka ini maka tujuan sistem pendidikan
adalah latihan dalam ilmu dan latihan dalam semangat ilmu.
Kedua,
pendidikan harus mengarah kepada kreativitas. Artinya, pendidikan harus
membuat orang menjadi kreatif. Pada dasarnya setiap individu memiliki
potensi kreativitas dan potesi inilah yang ingin dijadikan aktual oleh
pendidikan. Semangat kreatif, non konformist dan ingin tahu, menonjol
dalam diri manusia muda. Mereka umumnya bersikap kritis terhadap
nilai-nilai yang ada dan jika mereka menemukan bahwa nilai-nilai itu
sudah ketinggalan jaman, maka mereka ingin merombaknya. Disini
pendidikan berfungsi ganda, menyuburkan kreativitas, atau sebaliknya
mematikan kreativitas.
Ketiga,
tujuan pendidikan harus berorientasi kepada keterlibatan sosial.
Pendidikan harus mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi dengan
amsyarakat secara bertanggung jawab. Dia tidak hanya hidup dan
menyesuaikan diri dengan struktur-struktur sosial itu. Disini seorang
individu merealisir dimensi-dimensi sosialnya lewat proses belajar
berpartisipasi secara aktif lewat keterlibatan secara meyeluruh dalam
lingkungan sosialnya. Dalam kerangka sosialitas pada umumnya ini, suatu
misi pendidikan ialah menolong manusia muda melihat orang lain bukan
sebagai abstriaksi-abstraksi, melainkan sebagai mahluk konkrit dengan
segala dimensi kehidupannya.
Keempat,
tekanan terakhir yang digariskan UNESCO sebagai tujuan pendidikan
adalah pembentukan manusia sempurna. Pendidikan bertugas untuk
mengembangkan potensi-potensi individu semaksimal mungkin dalam
batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai,
terampil, jujur, yang tahu kadar kemampuannya, dan batas-batasnya, serta
kerhormatan diri. Pembentukan manusia sempurna ini akan tercapai
apabila dalam diri seseorang terjadi proses perpaduan yang harmonis dan
integral antara dimensi-dimensi manusiawi seperti dimensi fisik,
intelektual, emosional, dan etis. Proses ini berlangsung seumur hidup.
Jadi konkritnya pada pokoknya pendidikan itu adalah humansisasi, karena
itu mendidik berarti ”memanusiakan manusia muda dengan cara memimpin
pertumbuhannya sampai dapat berdikari, bersikap sendiri, bertanggung
jawab dan berbuat sendiri”. (Ibid, 1980)
3. Jalur Pendidikan
Tuntutan
masyarakat akan kebutuhan pendidikan membuat pendidikan terus
berkembang sejalan dengan pembangunan ansioanl. Pendidikan menjadi kunci
kemajuan dan keberhasilan dari suatu pembangunan sebuah negara. Agar
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendidikan maka di dalam
Undang-Undang Sistem Pendidikan nasional No.20 tahun 2003 terdapat jalur
pendidikan yang didalamnya terdapat pendidikan formal, non formal, dan
informal. Pendidikan formal disebut pula sistem pendidikan sekolah.
Pendidikan nonformal dan informal disebut pula sistem pendidikan luar
sekolah.
Untuk
lebih membedakan ketiga jenis satuan pendidikan diatas maka harus ada
kriteria yang lebih umum untuk dapat membedakan ketiganya. Oleh karena
itu Coombs (1973) membedakan pengertian pendidikan sebagai berikut
”Pendidikan
formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, bertingkat,
berjenjang, dimulai dengan sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi
dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi
yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan
profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus”.
Walaupun
masa sekolah bukan satu-satunya masa bagi setiap orang untuk belajar,
namun kita menyadari bahwa sekolah adalah tempat dan saat yang sangat
strategis bagi pemerintah dan masyarakat untuk membina seseorang dalam
menghadapi masa depannya.
”Pendidikan
informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga asetiap
orang memperoleh nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang
bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan
termasuk didalamnya adalah pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan
tetangga, lingkungan pekerjaan dan permainan, pasar, perpustakaan, dan
media masa”
Walaupun
demikian, pengaruhnya sangatlah besar dalam kehidupan seseorang, karena
dalam kebanyakan masyarakat pendidikan informal berperan penting
melalui keluarga, masyarakat, dan pengusaha. Pendidikan dalam keluarga
adalah yang pertama dan utama bagi setiap manusia. Seseorang kebanyakan
berada dalam rumah tangga dibandingkan dengan tempat-tempat
lainnya. Sampai umur tiga tahun seseorang akan selalu berada di rumah
tangga. Pada masa itulah diletakkan dasar-dasar kepribadian seseorang,
psikiater, kalau menemui suatu penyimpangan dalam kehidupan seseorang,
akan mencari sebab-sebabnya pada masa kanak-kanak orang itu. Coombs
dalam Sudjana (2001:22) :
”Pendidikan
nonformal ialah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis diluar
sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan
bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan
untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan
belajarnya”.
Bagi
masyarakat Indonesia, yang masih banyak dipengaruhi proses belajar
tradisional, pendidikan nonformal akan merupakan cara yang mudah sesuai
dengan daya tangkap rakyat, dan mendorong rakyat menjadi belajar, sebab
pemberian pendidikan tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan
lingkungan dan kebutuhan para peserta didik.
Ketiga
pengertian diatas dapat digunakan untuk membedakan karakteristik dari
setiap jalur pendidikan. Namun, Axinn (1974) membuat penggolongan
program-program kegiatan termasuk ke dalam pendidikan formal, nonformal
dan informal dengan menggunakan kriteria ada atau tidak adanya
kesengajaan dari kedua belah pihak yang berkomunikasi, yaitu pihak
pendidika (sumber belajar atau fasilitator) dan pihak peserta didik
(siswa atau warga belajar).
Kegiatan yang ditandai adanya kesengajaan dari kedua belah pihak yaitu pihak pendidik yang
sengaja membelajarkan peserta didik, dan peserta didik yang senagja
untuk belajar sesuatu dengan bimbingan, pembelajaran dan pelatihan dari
pendidik, maka kegiatan tersebut digolongkan kedalam pendidikan formal
atau penddiikan informal. Apabila kesengajaan itu hanya timbul dari
pihak pendidik untuk membantu peserta didik guna memperoleh pengalaman,
sedangkan pihak peserta didik tidak sengaja untuk belajar sesuatu dengan
bantuan pendidik, maka kegiatan ini termasuk ke dalam pendidikan
informal. Demikian pula apabila hanya pihak peserta didik yang
bersengaja untuk belajar sesuatu dengan bimbingan seorang pendidik
sedangkan pihak pendidik tidak sengaja untuk membantu peserta didik
tersebut, maka kegiatan ini tergolong pula ke dalam pendidikan informal.
Namun apabila suatu peristiwa belajar terjadi tanpa kesengajaan dari
pihak pendidik dan pihak peserta didik maka kegiatan ini digolongkan
pada pembelajaran secara kebetulan.
B. Konsep Pendidikan Luar Sekolah
1. Definisi Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 mencantumkan bahwa :
“Sistem
pendidikan nasional merupakan sistem terencana yang bertujuan untuk
meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab agar dapat menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta
bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dalam mewujudkan
masyarakat Pancasila”.
Untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional, telah dibentuk subsistem
pendidikan sekolah dan subsistem pendidikan luar sekolah. Kedua sistem
pendidikan tersebut memiliki kedudukan yang sama dalam sistem pendidikan
nasional.
Pendidikan
Luar Sekolah merupakan salah satu dari sistem pendidikan nasional.
Ruang lingkupnya sangat luas dan kompleks. Agar lebih memudahkan dan
memahami pengertian mengenai Pendidikan Luar Sekolah, berikut ini adalah
definisi yang diebrikan oleh salah satu ahli Pendidikan Luar Sekolah,
yaitu Sudjana (1991:7), memberikan batasan mengenai Pendidikan Luar
Sekolah sebagai berikut :
”Setiap
usaha pendidikan dalam arti luas yang padanya terdapat komunikasi yang
teratur dan terarah, diselenggarakan di luar sekolah sehingga seseorang
atau sekelompok orang memperoleh informasi tentang pengetahuan, latihan
dan bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya dengan tujuan
untuk mengembangkan pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai yang
memungkinkan baginya untuk menjadi peserta yang lebih efisien dan
efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaannya, lingkungan masyarakat
dan bahkan lingkungan negara.
Sedangkan Napitupulu (1981) dalam Sudjana (2001:49) memberi batasan bahwa :
”Pendidikan
luar sekolah adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang
diselenggarakan di luar sistem sekolah, berlangsung seumur hidup,
dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana yang bertujuan untuk
mengaktualisasi potensi manusia (sikap, tindak dan karya) sehingga dapat
terwujud manusia seutuhnya yang gemar belajar-mengajar dan mampu
meningkatkan taraf hidupnya.”
Selanjutnya
dalam pasal 1 Peraturan Pemerintah RI No.73 tentang Pendidikan Luar
Sekolah, dikemukakan bahwa “Pendidikan Luar Sekolah adalah pendidikan
yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan atau tidak”.
Selanjutnya Coombs dalam Sudjana (2001:22), mengemukakan pengertian
Pendidikan Luar Sekolah sebagai berikut :
“Pendidikan
Non Formal ialah setiap kegiatan terorganisir dan sistematis, diluar
sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan
bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan
untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan
belajarnya”.
Berdasarkan
definisi tersebut dapat dilihat bahwa kegiatan Pendidikan Luar Sekolah
dilakukan secara terprogram, terencana, dilakukan secara mandiri ataupun
merupakan bagian pendidikan yang lebih luas untuk melayani peserta
didik dengan tujuan mengembangkan kemampuan-kemampuan seoptimal mungkin
serta untuk mencapai kebutuhan hidupnya.
Fungsi Pendidikan Luar Sekolah sebagai subsistem pendidikan nasional adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan
nilai-nilai rohani dan jasmaniah peserta didik (warga belajar) atas
dasar potensi-potensi yang dimiliki oleh mereka sehingga terwujud insan
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki semangat
juang, loyal, serta mencintai tanah air, masyarakat, bangsa dan negara.
b. Untuk
mengembangkan cipta, rasa dan karsa peserta didik agar mereka mampu
memahami lingkungan, bertindak kreatif dan dapat mengaktualisasikan
diri.
c. Untuk
membantu peserta didik dalam membentuk dan menafsirkan pengalaman
mereka, mengembangkan kerjasama, dan pastisipasi aktif mereka dalam
memenuhi kebutuhan bersama dan kebutuhan masyarakat.
d. Untuk
mengembangkan cara berfikir dan bertindak kritis terhadap dan di dalam
lingkungannya, serta untuk memiliki kemampuan menerapkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, walaupun dalam bentuknya yang paling
sederhana, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi penghidupan dan
kehidupan dirinya dan masyarakat.
e. Untuk
mengembangkan sikap moral, tanggung jawab sosial, pelestarian
nilai-nilai budaya, serta keterlibatan diri peserta didik dalam
perubahan masyarakat dengan berorientasi ke masa depan.
2. Ciri-ciri Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan
Luar Sekolah sebagai subsistem nilai dari Pendidikan Nasional mempunyai
nilai yang berbeda dengan pendidikan sekolah. Menurut model Paulston
dalam Sudjana (2001:30-33) mencantumkan ciri-ciri Pendidikan Luar
Sekolah Sebagai Berikut :
a. Dari segi tujuan :
1).
Jangka pendek dan khusus, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan belajar
tertentu yang berfungsi bagi kehidupan masa kini dan masa depan.
2).
Kurang menekankan pentingnya ijazah, hasil belajar, berijazah atau
tidak, dapat diterapkan langsung dalam kehidupan di lingkungan pekerjaan
atau di masyarakat.
3). Ganjaran diperoleh selama proses dan akhir program, dalam bentuk benda yang diproduksi, pendapatan, keterampilan.
b. Dari segi waktu
1) Relatif
singkat, jarang lebih dari satu tahun, pada umumnya kurang dari
setahun, lamanya tergantung pada kebutuhan belajar peserta didik,
persyaratan untuk mengikuti program ialah kebutuhan, minat, dan
kesempatan waktu para peserta.
2) Menekankan
masa sekarang dan masa depan. Memusatkan layanan untuk memenuhi
kebutuhan terasa peserta didik guna meningkatkan kemampuan sosial
ekonominya dalam waktu bebas. Menggunakan waktu tidak penuh dan tidak
terus menerus, waktu ditetapkan dengan berbagai cara sesuai dengan
kesempatan peserta didik, serta memungkinkan untuk melakukan kegiatan
belajar sambil bekerja atau berusaha.
c. Dari segi isi program
1) Kurikulum
berpusat pada kepentingan peserta didik, kurikulum bermacam ragam atas
dasar perbedaan kebutuhan belajar peserta didik.
2) Mengutamakan aplikasi, kurikulum lebih menekankan keterampilan yang bernilai guna bagi kehidupan peserta didik dan lingkungan.
3) Persyaratan
masuk ditetapkan bersama peserta didik, karena program diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan dan untuk mengembangkan kemampuan potensial peserta
didik maka kualifikasi pendidikan formal dan kemampuan baca tulis sering
menjadi persyaratan umum.
d. Dari segi proses belajar mengajar
1) Dipusatkan
di lingkungan masyarakat dan lembaga, kegiatan belajar dilakukan di
berbagai lingkungan (masyarakat, tempat bekerja) atau disatuan
pendidikan luar sekolah (sanggar kegiatan belajar) pusat pelatihan dan
sebagainya.
2) Berkaitan
dengan kehidupan peserta didik dan masyarakat, pada waktu mengikuti
program, peserta berada dalam dunia kehidupan dan pekerjaannya,
lingkungan dihubungkan secara fungsional dengan kegiatan belajar.
3) Struktur
program yang fleksibel, program belajar yang bermacam ragam dalam jenis
dan urutannya. Pengembangan kegiatan dapat dilakukan sewaktu program
sedang berjalan.
4) Berpusat
pada peserta didik, kegiatan belajar dapat menggunakan sumber belajar
dari berbagai keahlian dan juru didik. Peserta didik menjadi sumber
belajar, lebih menitikberatkan kegiatan membelajarkan peserta didik dari
pada mengajar.
5) Peghematan
sumber-sumber yang tersedia, memanfaatkan tenaga dan sarana yang
terdapat di masyarakat dan lingkungan kerja untuk menghemat biaya.
e. Dari segi pengendalian program
1) Dilakukan
oleh pelaksana program dan peserta didik, pengendalian tidak terpusat,
koordinasi dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, otonomi terdapat pada
tingkat program dan daerah dan menekankan pada inisiatif dan
partisipasi di tingkat daerah.
2) Pendekatan
demokratis, hubungan antara pendidik dan peserta didik bercorak
hubungan sejajar atas dasar kefungsian. Pembinaan program dilakukan
secara demoktratis antara pendidika, peserta didik dan pihak lain yang
berpartisipasi.
3. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan
luar sekolah pada prinsipnya memiliki tujuan untuk mengembangkan sumber
daya manusia dalam kualitas dan potensi dirinya melalui pendidikan yang
berlangsung sepanjang hayat, hal ini sebagaimana dikemukakan Seameo
dalam Sudjana (2001:47) sebagai berikut :
“Tujuan
pendidikan luar sekolah adalah untuk mengembangkan pengetahuan, sikap,
keterampilan dan nilai-nilai yang memungkinkan bagi seseorang atau
kelompok untuk berperan serta secara efisien dan efektif dalam
lingkungan keluarganya, pekerjaannya, masyarakat, dan bahkan negaranya”.
Dengan
demikian pendidikan luar sekolah tidak hanya membekali warga belajarnya
dengan sejumlah kemampuan (pengetahuan, sikap, dan lain-lain) melainkan
juga mempersiapkan warga belajarnya untuk menjadi sumber daya manusia
yang mampu mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya di tengah
masyarakat.
Namun
demikian PLS juga mengutamakan pelayanan kebutuhan individu atau
masyarakat dalam kaitannya dengan pengembangan pribadi mereka melalui
proses pendidikan sepanjang hayat. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1991 bahwa pendidikan luar sekolah bertujuan :
a. Melayani
warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan
sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya.
b. Memenuhi
warga belajar agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dan sikap
mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah,
atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi,
c. Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.
C. Model Perencanaan Pendidikan luar Sekolah
1. Pengertian Model
Pengertian
model seperti yang dikemukakan oleh Marzuki (1992:63) yaitu sebagai
suatu pola atau aturan tentang sesuatu yang akan dihasilkan. Pengertian
kedua adalah suatu contoh sebagai tiruan dari pada aslinya. Misalnya
model pesawat terbang. Pengertian ketiga adalah seperangkat faktor atau
variabel yang saling berhubungan satu sama lain yang merupakan unsur
yang menggambarkan satu kesatuan sistem.
Apabila
digunakan pengertian pertama maka model perencanaan adalah pola suatu
rencana yang disusun untuk mencapai tujuan tertentu atau terget
tertentu. Di dalam perencanaan tentu banyak pola yang dipakai sesuai
dengan perkiraan efektivitas untuk mencapai tujuan tertentu.
Apabila
digunakan definisi yang kedua, maka model perencanaan adalah contoh
bentuk perencanaan. Sedangkan apabila digunakan definisi yang ketiga,
maka model perencanaan berarti seperangkat kegiatan yang berhubungan
satu sama lain sebagai suatu kesatuan sistem perencanaan yang ditujukan
untuk mencapai tujuan tertentu.
2. Pengertian Perencanaan
Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana (2004:57) perencanaan adalah :
”proses sistematis dalam pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang. Disebut
sistematis karena perencanaan dilaksanakan dengan menggunakan
prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut mencangkup proses
pengambilan keputusan, penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah,
serta tindakan atau kegiatan yang terorganisasi.”
Waterson (1965) mengemukakan bahwa :
”pada
hakekatnya perencanaan merupakan usaha sadar, terorganisasi, dan terus
menerus dilakukan untuk memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah
alternatif tindakan guna mencapai tujuan. Perencanaan bukan tindakan
tersendiri melainkan suatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang
kompleks.”
Schaffer
(1970) menjelaskan bahwa apabila perencanaan dibicarakan, kegiatan ini
tidak akan terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan. Proses pengambilan keputusan tersebut dimulai
dengan perumusan tujuan, kebijakan, dan sasaran secara luas, yang
kemudian berkembang pada tahapan penerapan tujuan dan kebijakan itu
dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk
dilaksanakan.
Yehezkel
Dror dalam A. Faludi (1978) mengemukakan bahwa perencanaan adalah
proses mempersiapkan seperangkat keputusan tentang kegiatan-kegiatan
untuk masa yang akan datang dengan diarahkan pada pencapaian
tujuan-tujuan melalui pengguanaan sarana yang tersedia. Sejalan dengan
prinsip tersebut, Friedman (1973:246) mengemukakan bahwa perencanaan
adalah proses yang menggabungkan pengetahuan dan teknik ilmiah kedalam
kegiatan yang diorganisasi. Suherman (1988) dalam buku Teknik-teknik
Dasar Pembangunan Masyarakat mengemukakan bahwa perencanaan adalah suatu
penentuan urutan tindakan, perkiraan biaya serta penggunaan waktu untuk
suatu kegiatan yang didasarkan atas data dengan memperhatikan prioritas
yang wajar dengan efisien untuk tercapainya tujuan.
Berdasarkan
beberapa pengertian dan prinsip diatas dapat dikemukakan bahwa
keputusan yang diambil dalam perencanaan berkaitan dengan rangkaian
tindakan atau kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan di
masa yang akan datang. Rangkaian tindakan atau kegiatan itu perlu
dilakukan karena dua alasan, pertama, untuk mewujudkan kemajuan atau keberhasilan sesuai dengan yang diinginkan. Sedangkan alasan kedua,
ialah supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, dan kondisi
yang sama atau lebih rendah daripada keadaan pada saat ini.
3. Fungsi dan Karakteristik Perencanaan Pendidikan Non Formal
Perencanaan pendidikan non formal merupakan kegiatan yang berkaitan dengan Pertama,
uapaya sistematis yang menggambarkan penyusunan rangkaian tindakan yang
akan dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga dengan
mempertimbangkan sumber-sumber yang tersedia atau sumber-sumber yang
dapat disediakan. Sumber itu meliputi sumber daya manusia dan sumber
daya non manusia. Sumber daya manusia mencangkup pamong belajar,
fasilitator, tutor, warga belajar, pimpinan lembaga, dan masyarakat.
Sumber daya non manusia meliputi fasilitas, alat-alat waktu, biaya, alam
hayati, dan anatu non hayati, sumber daya buatan, dan lingkungan sosial
budaya. Kedua, perencanaan merupakan kegiatan untuk
mengerahkan atau menggunakan sumber-sumber yang terbatas secara efisien
adn efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan
perencanaan diharapkan dapat dihindari pentimpangan sekecil mungkin
dalam penggunaan sumber-sumber tersebut.
Sesuai
dengan pengertian diatas, maka Sudjana (2004:59) mengemukakan bahwa
perencanaan pendidikan non formal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
1. Perencanaan
merupakan model pengambilan keputusan secara rasional dalam memilih dan
menetapkan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan.
2. Perencanaan
berorientasi pada perubahan dari keadaan masa sekarang kepada suatu
keadaan yang diinginkan dimasa datang sebagaimana dirumuskan dalam
tujuan yang akan dicapai.
3. perencanaan melibatkan orang-orang ke dalam suatu proses untuk menentukan dan menemukan masa depan yang dinginkan.
4. perencanaan
memberi arah mengenai bagaimana dan kapan tindakan akan diambil serta
siapa pihak yang terlibat dalam tindakan atau kegiatan itu.
5. perencanaan
melibatkan perkiraan tentang semua kegiatan yang akan dilalui atau akan
dilaksanakan. Perkiraan itu meliputi kebutuhan, kemungkinan-kemungkinan
keberhasilan, sumber-sumber yang digunakan, faktor-faktor pendukung dan
penghambat, serta kemungkinan resiko dari suatu tindakan yang akan
dilakukan.
6. perencanaan
berhubungan dengan penentuan prioritas dan urutan tindakan yang akan
dilakukan. Prioritas ditetapkan berdasarkan urgensi atau kepentingannya,
relevansi dengan kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber
yang tersedia, dan hambatan yang mungkin dihadapi.
7. perencanaan
sebagai titik awal untuk dan arahan terhadap kegiatan pengorganisasian,
penggerakan, pembinaan, penilaian, dan pengembangan.
Secara lebih rinci, Sudjana (1993:42-43) mengemukakan pula bahwa perencanaan memiliki karakteristik sebagai berikut :
”(1)
Merupakan model pengambilan keputusan secara rasional dalam memilih dan
menetapkan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan, (2) Berorientasi
pada perubahan dari keadaan masa sekarang kepada suatu keadaan yang
diinginkan pada masa depan, (3) Perencanaan melibatkan orang-orang
kedalam suatu proses untuk menentukan dan menemukan masa depan yang
diinginkan, (4) Memberi arah tentang bagaimana dan kapan tindakan itu,
(5) Melibatkan perkiraan tentang semua kegiatan yang dilalui, (6)
Berhubungan dengan penentuan prioritas dan urutan tindakan yang akan
dilakukan”.
4. Prinsip-prinsip Perencanaan
Prinsip perencanaan Pendidikan luar sekolah yang dikemukakan oleh Sudjana (2004:57) : ” perencanaan
merupakan proses sistematis karena menggunakan prinsip-prinsip
tertentu, prinsip tersebut mencangkup proses pengambilan keputusan,
penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah, serta tindakan atau
kegiatan yang terorganisir”.
Keputusan
yang diambil dalam menetapkan urutan rangkaian tindakan didasarkan pada
alasan: untuk mewujudkan keinginan atau keberhasilan sesuai dengan
kriteria, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan, yaitu
keadaan tidak berubah atau mundur, dan menggambarkan bagaimana kegiatan
itu dilaksanakan.
a. Prinsip proses pengambilan keputusan
Schaffer
(1970) menjelaskan bahwa apabila perencanaan dibicarakan, kegiatan ini
tidak akan terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan proses
pengambilan keputusan yang kompleks. Proses pengambilan keputusan
tersebut dimulai dengan perumusan tujuan, kebijakan, dan sasaran secara
luas, yang kemudian pada tahapan penerapan tujuan dan kebijakan itu
dalam rencana yang lebih rinci berbentuk program-program untuk
dilaksanakan.
Sesuai
dengan Yehezkel Dror dalam A. Faludi (1978) mengemukakan bahwa
”perencanaan adalah proses mempersiapkan seperangkat keputusan tentang
kegiatan-kegiatan untuk masa yang akan datang dengan diarahkan pada
pencapaian tujuan-tujuan melalui penggunaan sarana yang tersedia”.
b. Prinsip penggunaan pengetahuan dan teknik secara ilmiah
Friedman
mengungkapkan bahwa ”perencanaan adalah proses yang menggabungkan
pengetahuan dan teknik ilmiah kedalam kegiatan yang diorganisasi.
Sedangkan Suherman (1988) dalam Sudjana (2004:58) mengungkapkan bahwa
”perencanaan adalah suatu penentuan urutan tindakan, perkiraan biaya
serta penggunaan waktu untuk suatu kegiatan yang didasarkan atas data
dengan memperhatikan prioritas yang wajar dengan efisien untuk
tercapainya tujuan”.
c. Prinsip tindakan atau kegiatan yang terorganisirGinan dalam orasi personal (Panazaba – Hari Anti Napza Nasional, 26 Juni 2007) mengungkapkan bahwa : ”setiap
perencanaan akan berjalan dengan baik apabila ada pengaturan tindakan
yang kemudian dilembagakan secara benar, berbentuk sebuah
pengorganisasian atau pengerahan kemampuan”.
Selanjutnya
dalam pengelolaan suatu perencanaan, Komarudin (Sunarto, 2001:67)
menyarankan menggunakan 15 (lima belas) prinsip. Prinsip-prinsip
pengelolaan suatu perencanaan tersebut adalah : ”(1) Principles of comprehensiveness, yaitu perencanaan harus mampu menggambarkan keseluruhan aspek atau komponen dan proses yang akan dilaksanakan, (2) Principles of Complexity,
yaitu perencanaan menggambarkan tingkat kerumitan proses, tingkatan,
urutan dan prasarat yang harus didukung oleh pemilih strategi untuk
mengontrol program, (3) Principles of significance, yaitu memiliki kesesuaian yang tinggi antara komponen, (4) Principles of specificity, yaitu ditandai dengan adanya prioritas tertentu dari keseluruhan tujuan yang akan dicapai, (5) Principles of primacy of dimension, yaitu dilengkapi kriteria keberhasilan, (6) Principles of completeness, yaitu antara komponen yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi, (7) Principles of time, yaitu memiliki ketepatan waktu dalam pelaksanaan, (8) Principles of flexibility, yaitu memiliki peluang untuk mengadakan perubahan, (9) Principles of frequency, yaitu perencanaan yang dilakukan merupakan upaya untuk memecahkan masalah, (10) Principles of formality, yaitu mencangkup frekuensi pertemuan, kapan monitoring dan ebrapa kali evaluasi dilakukan, (11) Principles of authorization, yaitu memberi wewenang tertentu kepada pihak yang terlibat dalam pelatihan, (12) Principles of ease implementation, yaitu memberikan arah tentang langkah-langkah dan mempermudah pelaksanaan kegiatan, (13) Principles of confidential nature, yaitu perencanaan yang dilaksanakan ada yang tidak dapat diketahui oleh semua pihak, (14) Principles of ease of control, yaitu perencanaan harus memiliki fungsi mengontrol semua kegaitan yang harus dilakukan, (15) Principles of relationship of dimension, yaitu memiliki kriteria-kriteria untuk mengukur keberhasilan”. Prinsip-prinsip
dalam perencanaan tersebut menggambarkan betapa banyaknya aktivitas
perencanaan agar menghasilkan suatu rancangan seacra utuh, menggambarkan
keseluruhan proses, strategi, fasilitas dan berbagai langkah yang harus
dilaksanakan oleh semua sumber daya pelatihan pada konteks sosial yang
tepat dan memiliki kesesuaian tinggi terhadap kondisi saat ini maupun
masa mendatang.
5. Jenis-jenis Perencanaan
Sudjana
(2004:60) mengungkapkan bahwa perencanaan yang diterapkan dalam
pendidikan nonformal dapat diklasifikasi menjadi dua jenis, yaitu
perencanaan alokatif (allocative planning) dan perencanaan Inovatif (innovative planning).
Perencanaan inipun dapat bercorak tingkat lembaga atau lintas sektoral.
Friedman (1972) mengemukakan bahwa dalam perencanaan lintas sektoral
akan terjadi kegiatan saling belajar melalui proses hubungan antar
manusia di antara semua pihak yang terlibat dalam proses penentuan
tujuan organsisasi dan dalam merumuskan rangkaian kegiatan untuk
mencapai tujuan organisasi. Pada umumnya semua yang terlibat dalam
perencanaan memiliki semangat dan keinginan yang tinggi untuk melakukan
kegiatan dalam perencanaan. Gambaran umum mengenai kedua jenis
perencanaan itu adalah :
A. Perencanaan Alokatif (Allocative Planning)
Perencanaan Alokatif (Allocative Planning) ditandai dengan upaya penyebaran atau pembagian (alokasi) sumber-sumber yang jumlahnya terbatas kepada kegiatan-kegiatan dan pihak-pihak yang akan menggunakan sumber-sumber tersebut yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan sumber-sumber yang akan disebarkan. Upaya penyebaran ini pada umumnya dilakukan secara rasional pada organisasi atau lembaga ditingkat pusat (nasional). Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS) merupakan salah satu contoh yang sering digunakan dalam tipe perencanaan alokatif. Penyebaran sumber-sumber yang tersedia dalam PPBS dilakukan secara rasional.
Perencanaan Alokatif (Allocative Planning) ditandai dengan upaya penyebaran atau pembagian (alokasi) sumber-sumber yang jumlahnya terbatas kepada kegiatan-kegiatan dan pihak-pihak yang akan menggunakan sumber-sumber tersebut yang jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan ketersediaan sumber-sumber yang akan disebarkan. Upaya penyebaran ini pada umumnya dilakukan secara rasional pada organisasi atau lembaga ditingkat pusat (nasional). Planning, Programming, and Budgeting System (PPBS) merupakan salah satu contoh yang sering digunakan dalam tipe perencanaan alokatif. Penyebaran sumber-sumber yang tersedia dalam PPBS dilakukan secara rasional.
Perencanaan alokatif memiliki tiga ciri utama. Ciri pertama, perencanaan dilakukan secara komprehensip atau menyeluruh. Kedua, adanya keseimbangan atau keserasian anatara komponen-komponen kegiatan.sedangkan ciri ketiga, adanya alasan fungsional untuk melakukan perencanaan. Perencanaan
Alokatif menurut Friedman (1973) dalam Sudjana (2004:66), dapat
dikategorikan kedalam empat tipe yaitu: perencanaan berdasarkan perintah
(command planning), perencanaan berdasarkan kebijakan (policies planning), perencanaan berdasarkan persekutuan (corporate planning), dan perencanaan berdasarkan kepentingan peserta (participant Planning).
B. Perencanaan Inovatif (Innovative Planning)
Perencanaan inovatif merupakan proses penyusunan rencana yang menitikberatkan perluasan fungsi dan wawasan kelembagaan untuk memecahkan permasalahan kehidupan masyarakat yang menjadi layanan berbagai lembaga. Perencanaan ini ditandai dengan adanya upaya pengembangan gagasan dan kegiatan baru dalam memecahkan masalah. Berbagai keahlian teknis dilibatkan secara terpadu dalam perencanaan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat luas. Proses dalam perencanaan tidak hanya untuk menghasilkan suatu rencana melainkan juga untuk mewujudkan fungsi diantara para perencana dari berbagai bidang kegiatan lembaga-lembaga terkait. Proses inipun berkaitan dengan kesinambungan antara perencanaan dan pelaksanaan progam dalam upaya pemecahan masalah. Perencanaan inovatif sering dirahkan untuk memecahkan permasalahann besar yang dihadapi masyarakat. Permasalahan itu seperti meningkatnya jumlah pengangguran, meluasnya kemiskinan, rendahnya pendidikan masyarakat pedesaan, kesemerawutan daerah kumuh diperkotaan, kegagalan sistem pendidikan, tingginya angka pertumbuhan penduduk, maraknya kenakalan remaja, tawuran anak-anak sekolah, Napza, dan menurunkanya kualitas lingkungan hidup. Permasalahan tersebut perlu dihadapi bersama oleh lembaga-lembaga terkait dengan menggunakan perencanaan baru, dan bukan menggunakan perencanaan alokatif sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Chamberlain (1965) dalam Sudjana (2004:59) menjelaskan bahwa perencanaan inovatif adalah tipe perencanaan untuk mengahadapi masalah-masalah besar yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan perencanaan konvensional, melainkan harus menggunakan suatu pola perencanaan yang baru. Sudjana (2004:84) mengungkapkan perencanaan inovatif memiliki tiga ciri pokok, yaitu : pembentukan lembaga baru, orientasi pada tindakan atau kegiatan, dan penggerakkan sumber-sumber yang diperlukan.
1. Ciri Pokok Perencanaan Inovatif
Perencanaan inovatif merupakan proses penyusunan rencana yang menitikberatkan perluasan fungsi dan wawasan kelembagaan untuk memecahkan permasalahan kehidupan masyarakat yang menjadi layanan berbagai lembaga. Perencanaan ini ditandai dengan adanya upaya pengembangan gagasan dan kegiatan baru dalam memecahkan masalah. Berbagai keahlian teknis dilibatkan secara terpadu dalam perencanaan untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat luas. Proses dalam perencanaan tidak hanya untuk menghasilkan suatu rencana melainkan juga untuk mewujudkan fungsi diantara para perencana dari berbagai bidang kegiatan lembaga-lembaga terkait. Proses inipun berkaitan dengan kesinambungan antara perencanaan dan pelaksanaan progam dalam upaya pemecahan masalah. Perencanaan inovatif sering dirahkan untuk memecahkan permasalahann besar yang dihadapi masyarakat. Permasalahan itu seperti meningkatnya jumlah pengangguran, meluasnya kemiskinan, rendahnya pendidikan masyarakat pedesaan, kesemerawutan daerah kumuh diperkotaan, kegagalan sistem pendidikan, tingginya angka pertumbuhan penduduk, maraknya kenakalan remaja, tawuran anak-anak sekolah, Napza, dan menurunkanya kualitas lingkungan hidup. Permasalahan tersebut perlu dihadapi bersama oleh lembaga-lembaga terkait dengan menggunakan perencanaan baru, dan bukan menggunakan perencanaan alokatif sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Chamberlain (1965) dalam Sudjana (2004:59) menjelaskan bahwa perencanaan inovatif adalah tipe perencanaan untuk mengahadapi masalah-masalah besar yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan perencanaan konvensional, melainkan harus menggunakan suatu pola perencanaan yang baru. Sudjana (2004:84) mengungkapkan perencanaan inovatif memiliki tiga ciri pokok, yaitu : pembentukan lembaga baru, orientasi pada tindakan atau kegiatan, dan penggerakkan sumber-sumber yang diperlukan.
1. Ciri Pokok Perencanaan Inovatif
a. Pembentukkan Lembaga Baru
Perencaaan inovatif pada dasarnya berhubungan dengan penjabaran prinsip-prinsip umum perencanaan yang telah dilakukan oleh lembaga terkait kedalam perencanaan yang disusun oleh lembaga baru yang dibentuk atas kesepakatan lembaga tersebut. Pembentukan lembaga baru tersebut didasarkan atas kepentingan lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam menangani permasalahan khusus. Baik secara nasional, daerah maupun lokal, yang memerlukan pemecahan secara bersama itu menyangkut pendayangunaan sumber daya (manusia dan non manusia) yang terdapat pada lembaga masing-masing, pembagian garapan dan tugas tiap lembaga.
Ciri-ciri penting dalam perencanaan inovatif. Pertama, adanya lembaga baru yang dibentuk oleh lembaga-lembaga terkait atau sektor-sektor. Lembaga baru mempunyai fokus perhatian pada masalah-masalah yang perlu digarap secara bersama. Kedua, Pemecahan masalah dilakukan melalui pendekatan secara menyeluruh (komprehensip). Program-program untuk pemecahan masalah disusun karena alasan-alasan khusus. Lembaga baru berperan untuk mewakili fungsi-fungsi lembaga yang membentuknya dalam memberikan pelayanan secara efisien dan efektif terhadap khalayak sasaran di masyarakat yang membutuhkannya, melalui berbagai program sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan sesuai juga dengan potensi yang ada di lembaga-lembaga. Ketiga, lahirnya lembaga baru tidak dimaksudkan untuk menambah anggaran biaya lembaga-lembaga yang membentuknya, karena pembiayaan program-program lembaga baru berasal dari anggaran biaya yang telah ada pada lembaga-lembaga yang membentuk lembaga baru tersebut. Keempat, hasil yang dicapai dalam perencanaan inovatif tidak biasa dinilai dengan menggunakan analisis sektoral sebagaimana biasa digunakan di lembaga masing-masing. Keberhasilan perencanaan inovatif dinilai secara menyeluruh karena merupakan usaha bersama melalui lembaga baru. Kelima, lembaga baru lebih bersifat pembaharu (reformist). Lembaga ini dibentuk untuk memperbaharui sistem pelayanan yang telah ada dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan tidak dapat dilakukan secara sektoral. Ciri terakhir ini berkaitan dengan kecenderungan bahwa semakin maju suatu masyarakat, maka makin berkembang pula spesalisasi. Namun betapapun tajamnya suatu spesialisasi, masing-masing tidak dapat memecahkan masalah umum dengan tuntas. Oleh karena itu diperlukan kerjasama lintas sektoral dan antardisiplin. Pada gilirannya, perencanaan inovatif dapat memperkuat hubungan antar lembaga dan dapat menumbuhkan sistem pelayanan secara terpadu. Singkatnya, perencanaan inovatif dilakukan dalam pembentukan lembaga baru yang dibentuk oleh lembaga-lembaga sektoral yang terkait dengan maksud untuk memecahkan masalah bersama secara menyeluruh dan untuk meningkatkan mutu pelayanan secara terpadu kepada masyarakat.
Perencaaan inovatif pada dasarnya berhubungan dengan penjabaran prinsip-prinsip umum perencanaan yang telah dilakukan oleh lembaga terkait kedalam perencanaan yang disusun oleh lembaga baru yang dibentuk atas kesepakatan lembaga tersebut. Pembentukan lembaga baru tersebut didasarkan atas kepentingan lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam menangani permasalahan khusus. Baik secara nasional, daerah maupun lokal, yang memerlukan pemecahan secara bersama itu menyangkut pendayangunaan sumber daya (manusia dan non manusia) yang terdapat pada lembaga masing-masing, pembagian garapan dan tugas tiap lembaga.
Ciri-ciri penting dalam perencanaan inovatif. Pertama, adanya lembaga baru yang dibentuk oleh lembaga-lembaga terkait atau sektor-sektor. Lembaga baru mempunyai fokus perhatian pada masalah-masalah yang perlu digarap secara bersama. Kedua, Pemecahan masalah dilakukan melalui pendekatan secara menyeluruh (komprehensip). Program-program untuk pemecahan masalah disusun karena alasan-alasan khusus. Lembaga baru berperan untuk mewakili fungsi-fungsi lembaga yang membentuknya dalam memberikan pelayanan secara efisien dan efektif terhadap khalayak sasaran di masyarakat yang membutuhkannya, melalui berbagai program sesuai dengan permasalahan yang dihadapi masyarakat dan sesuai juga dengan potensi yang ada di lembaga-lembaga. Ketiga, lahirnya lembaga baru tidak dimaksudkan untuk menambah anggaran biaya lembaga-lembaga yang membentuknya, karena pembiayaan program-program lembaga baru berasal dari anggaran biaya yang telah ada pada lembaga-lembaga yang membentuk lembaga baru tersebut. Keempat, hasil yang dicapai dalam perencanaan inovatif tidak biasa dinilai dengan menggunakan analisis sektoral sebagaimana biasa digunakan di lembaga masing-masing. Keberhasilan perencanaan inovatif dinilai secara menyeluruh karena merupakan usaha bersama melalui lembaga baru. Kelima, lembaga baru lebih bersifat pembaharu (reformist). Lembaga ini dibentuk untuk memperbaharui sistem pelayanan yang telah ada dalam memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan tidak dapat dilakukan secara sektoral. Ciri terakhir ini berkaitan dengan kecenderungan bahwa semakin maju suatu masyarakat, maka makin berkembang pula spesalisasi. Namun betapapun tajamnya suatu spesialisasi, masing-masing tidak dapat memecahkan masalah umum dengan tuntas. Oleh karena itu diperlukan kerjasama lintas sektoral dan antardisiplin. Pada gilirannya, perencanaan inovatif dapat memperkuat hubungan antar lembaga dan dapat menumbuhkan sistem pelayanan secara terpadu. Singkatnya, perencanaan inovatif dilakukan dalam pembentukan lembaga baru yang dibentuk oleh lembaga-lembaga sektoral yang terkait dengan maksud untuk memecahkan masalah bersama secara menyeluruh dan untuk meningkatkan mutu pelayanan secara terpadu kepada masyarakat.
b. Berorientas Pada Kegiatan
Tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan lembaga baru serta pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan itu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Perencanaan inovatif merupakan jawaban kretaif dari lembaga-lembaga terkait terhadap permasalahan yang muncul dalam situasi khusus. Pelaksanaan program pemecahan masalah secara bersama mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak diperkirakan oleh lembaga baru pada saat perencanaan sedang dilakukan. Apabila dampak itu muncul pada waktu pelaksanaan program, maka perencanaan inovatif memberikan kesempatan kepada perencana untuk setelah mendapatkan masukan dari lapangan, untuk menentukan tujuan-tujuan antara (intermediate-goals) dalam upaya mencapai tujuan akhir yang telah ditentukan pada saat perencanaan. Dalam perencanan inovatif upaya mencari dan memilih alternatif kegiatan yang efektif untuk mencapai tujuan antara perlu dilakukan melalui pertimbangan rasional. Adapun upaya secara berkelanjutan untuk melakukan kegiatan yang efektif itu disebut strategi kegiatan. Ada dua strategi kegiatan dalam perencanaan inovatif yang berhasil. Strategi pertama, sebagai kegiatan dasar adalah pengembangan upaya lembaga baru untuk membina hubungan yang erat dan berkelanjutan dengan lembaga-lembaga terkait yang membentuk lembaga baru tersebut. Strategi kedua adalah mekanisme kegiatan yang terfokus pada pencapaian tujuan lembaga baru itu sendiri.
Tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan lembaga baru serta pelaksanaan kegiatan untuk mencapai tujuan itu tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Perencanaan inovatif merupakan jawaban kretaif dari lembaga-lembaga terkait terhadap permasalahan yang muncul dalam situasi khusus. Pelaksanaan program pemecahan masalah secara bersama mungkin akan menimbulkan dampak yang tidak diperkirakan oleh lembaga baru pada saat perencanaan sedang dilakukan. Apabila dampak itu muncul pada waktu pelaksanaan program, maka perencanaan inovatif memberikan kesempatan kepada perencana untuk setelah mendapatkan masukan dari lapangan, untuk menentukan tujuan-tujuan antara (intermediate-goals) dalam upaya mencapai tujuan akhir yang telah ditentukan pada saat perencanaan. Dalam perencanan inovatif upaya mencari dan memilih alternatif kegiatan yang efektif untuk mencapai tujuan antara perlu dilakukan melalui pertimbangan rasional. Adapun upaya secara berkelanjutan untuk melakukan kegiatan yang efektif itu disebut strategi kegiatan. Ada dua strategi kegiatan dalam perencanaan inovatif yang berhasil. Strategi pertama, sebagai kegiatan dasar adalah pengembangan upaya lembaga baru untuk membina hubungan yang erat dan berkelanjutan dengan lembaga-lembaga terkait yang membentuk lembaga baru tersebut. Strategi kedua adalah mekanisme kegiatan yang terfokus pada pencapaian tujuan lembaga baru itu sendiri.
c. Pengerahan Sumber-Sumber
Dalam
perencanaan inovatif, para perencana biasanya bertindak sebagai
wirausahawan yang aktif melalui kegiatan mencari, mengerahkan,
mengorganisasi, dan mendayangunakan sumber-sumber yang tersedia baik di
dalam maupun diluar lembaga-lembaga terkait, termasuk sumber-sumber dari
masyarakat. Perluasan peranan perencana sebagai wirausahawan itu disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama,
kehadiran lembaga baru, terutama pada tahap awal belum diyakini benar
kehandalannya oleh semua pihak dan belum memperoleh dukungan optimal
dari lembaga-lembaga tersebut. Kedua, perencana melakukan
komunikasi dan negosiasi secara aktif dengan lembaga-lembaga terkait
agar tercapai kesepakatan tentang manfaat dan fungsi lembaga baru bagi
kepentingan misi dan fungsi lembaga masing-masing. Ketiga,
keberhasilan lembaga baru dapat terwujud apabila lembaga-lembaga
terkait memberi dukungan kuat secara berkelanjutan, menyetujui dan
mengikuti prosedur yang ditetapkan lembaga baru, menerima laporan
terutama tentang penggunaan sumber-sumber, dan merasakan manfaat
langsung dari kehadiran lembaga baru itu untuk membantu fungsi lembaga
masing-masing.
D. Pendidikan Kesetaraan Sebagai Salah Satu Program Pendidikan Luar Sekolah
Berdasarkan
Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasional pasal
26 ayat (3), dan penjelasannya bahwa pendidikan kesetaraan adalah
program pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum
setara SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA yang mencangkup Program Paket A, Paket
B, dan Paket C.
Pendidikan
Kesetaraan meliputi Program Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan
Paket C setara SMA ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari
masyarakat yang kurang beruntung, tidak pernah sekolah, putus sekolah
dan putus lanjut, serta usia produktif yang ingin meningkatkan
pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga masyarakat lain yang
memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai
dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Definisi mengenai setara adalah sepadan dalam civil effect, ukuran,
pengaruh, dan kedudukan. Sebagaimana tercantum dalam Undang-undang
No.20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 26 ayat (6)
bahwa hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan
oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pengertian
mengenai pendidikan kesetaraan adalah jalur pendidikan nonformal dengan
standar kompetensi lulusan yang sama dengan sekolah formal, tetapi
konten, konteks, metodologi, dan pendekatan untuk mencapai standar
kompetensi lulusan tersebut lebih memberikan konsep-konsep terapan,
tematik, induktif, yang terkait dengan permasalahan lingkungan dan
melatih kecakapan hidup berorientasi kerja atau berusaha sendiri.
Standar
kompetensi lulusan pendidikan kesetaraan diberi catatan khusus. Catatan
khusus meliputi: (i) pemilikan katerampilan dasar untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari (untuk Paket A); (ii) pemilikan keterampilan untuk
memenuhi tuntutan dunia kerja (untuk Paket B); (iii) pemilikan
keterampilan berwirausaha (untuk Paket C). Perbedaan ini disebabkan oleh
kekhasan karakteristik peserta didik yang karena berbagai hal tidak
mengikuti jalur formal karena memerlukan substansi praktikal yang
relevan dengan kehidupan nyata.
Reformasi
kurikulum pendidikan kesetaraan diarahkan untuk mewujudkan insan
Indonesia cerdas komprehensif dan kompetitif bagi semua peserta didik
pendidikan kesetaraan yang selama ini cenderung termarjinalkan. Semua
pihak perlu memperoleh kesempatan untuk dapat mengembangkan kecerdasan
spiritual, emosional dan sosial, intelektual, dan kinestetik.
Proses
pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih
induktif, konstruktif, serta belajar mandiri melalui penekanan pada
pengenalan permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan
pendekatan antar-keilmuan yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih
relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Sistem
pembelajaran dirancang sedemikian rupa agar memiliki kekuatan
tersendiri, untuk mengembangkan kecakapan komprehensif dan kompetitif
yang berguna dalam peningkatan kemampuan belajar sepanjang
hayat. Proses pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
yang lebih induktif dan konstruktif.
Proses
pembelajaran pendidikan kesetaraan lebih menitik beratkan pada
pengenalan permasalahan lingkungan serta cara berfikir untuk
memecahkannya melalui pendekatan antar-disiplin ilmu yang relevan dengan
permasalahan yang sedang dipecahkan. Dengan demikian, penilaian dalam
pendidikan kesetaraan dilakukan dengan lebih mengutamakan uji
kompetensi.
Program Pendidikan kesetaraan merupakan solusi bagi :
1. Masyarakat yang tidak mengikuti atau tidak menyelesaikan pendidikan formal karena banyak alasan
2. Kelompok masyarakat yang membentuk komunitas belajar sendiri dengan Flexyibel Learning.
3. Kelompok masyarakat yang menentukan pendidikan kesetaraan atas pilihan sendiri
4. Merupakan
layanan khusus bagi mereka yang putus sekolah, etnis minoritas, suku
terasing, anak jalanan, korban penyalahgunaan Napza, anak-anak yang
kurang mampu, anak Lapas atau Anak yang bermasalah dengan sosial/hukum,
dan peserta didik dewasa.
Pendidikan kesetaraan diarahkan untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif bagi semua peserta didik pendidikan kesetaraan yang selama ini cenderung termajinalkan. Semua pihak perlu memperoleh kesempatan untuk dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, social, intelektual dan kinestetik.
Strategi pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antar-keilmuan yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan :
Pendidikan kesetaraan diarahkan untuk mewujudkan insan Indonesia yang cerdas komprehensif dan kompetitif bagi semua peserta didik pendidikan kesetaraan yang selama ini cenderung termajinalkan. Semua pihak perlu memperoleh kesempatan untuk dapat mengembangkan kecerdasan spiritual, emosional, social, intelektual dan kinestetik.
Strategi pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan yang lebih induktif, konstruktif, serta belajar mandiri melalui penekanan pada pengenalan permasalahan lingkungan serta pencarian solusi dengan pendekatan antar-keilmuan yang tidak tersekat-sekat sehingga lebih relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan :
1. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Agama dan Akhlak Mulia.
2. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepribadian
3. Kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
4. Kelompok mata pelajaran Estetika
5. Kelompok mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan
Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan meliputi 10 mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Sepuluh mata pelajaran itu meliputi:
Isi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan meliputi 10 mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Sepuluh mata pelajaran itu meliputi:
1. Pendidikan Agama
2. Pendidikan Kewarganegaraan
3. Bahasa
4. Matematika
5. Ilmu Pengetahuan Alam
6. Ilmu Pengetahuan Sosial
7. Seni dan Budaya
8. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
9. Keterampilan / Kejuruan
10. Muatan Lokal
Kurikulum kesetaraan mengembangkan kecakapan hidup yang terdiri atas : kecakapan pribadi, kecakapan intelektual, kecakapan sosial dan kecakapan vokasional.
Bahkan Materi kecakapan hidup tersebut terintegrasi dalam jadwal dan jam belajar pendidikan kesetaraan, sesuai dengan target yang dicanangkan untuk masing-masing tingkatan pendidikan kesetaraan.
Kurikulum kesetaraan mengembangkan kecakapan hidup yang terdiri atas : kecakapan pribadi, kecakapan intelektual, kecakapan sosial dan kecakapan vokasional.
Bahkan Materi kecakapan hidup tersebut terintegrasi dalam jadwal dan jam belajar pendidikan kesetaraan, sesuai dengan target yang dicanangkan untuk masing-masing tingkatan pendidikan kesetaraan.
Jam belajar pendidikan kesetaraan meliputi :
PAKET A setara SD/MI kelas Awal
|
PAKET A setara SD/MI Kelas Akhir
|
PAKET B setara SMP/MTs
|
PAKET C setara SMA/MA
|
- 595 jam/tahun atau
|
- 680 jam/tahun atau
|
- 816 jam/tahun atau
|
- 969 jam/tahun atau
|
- 180 hari/tahun atau
|
- 180 hari/tahun atau
|
- 180 hari/tahun atau
|
- 180 hari/tahun atau
|
- 3,3 jam/hari atau
|
-3,8 jam/hari atau
|
- 4,5 jam/hari atau
|
- 5,4 jam/hari atau
|
- 34 minggu/tahun
|
34 minggu/tahun
|
- 34 minggu/tahun
|
-34 minggu/tahun
|
- 30 SKS/semester @ 35 menit
|
30 SKS/ Semester @ 40 menit
|
- 34 SKS/Semester @ 40 menit
|
- 38 SKS/Semester @ 45 menit
|
Tabel 2.1
Pembagian jam belajar Pendidikan Kesetaraan
Catatan :
1. Substansi kerumahtanggaan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran terkait.
2. untuk
Paket B dan Paket C diberikan mata pelajaran keterampilan kerja
sebanyak 4 SKS yang memuat etika bekerja, ekonomi lokal, dan
keterampilan bermatapencaharian.
3. Mata Pelajaran Keterampilan kerja diberikan pada tahun terakhir semester awal.
Sasaran
peserta didik pendidikan kesetaraan adalah masyarakat yang karena
berbagai hal tidak dapat mengikuti pendidikan formal mlsalnya mereka
yang :
1. Mempunyai kesulitan sosial ekonomi seperti, petani, nelayan, anak jalanan dan sejenisnya.
2. Berada di pondok pesantren yang belum menyelenggarakan pendidikan.
3. Etnik Minoritas, terisolasi karena alasan geografis.
4. Kelompok masyarakat yang membentuk komunitas belajar sendiri dengan flexy learning.
5. Kelompok. Masyarakat yang menentukan pendidikan kesetaraan atas pilihan sendiri.
1. Mempunyai kesulitan sosial ekonomi seperti, petani, nelayan, anak jalanan dan sejenisnya.
2. Berada di pondok pesantren yang belum menyelenggarakan pendidikan.
3. Etnik Minoritas, terisolasi karena alasan geografis.
4. Kelompok masyarakat yang membentuk komunitas belajar sendiri dengan flexy learning.
5. Kelompok. Masyarakat yang menentukan pendidikan kesetaraan atas pilihan sendiri.
Selanjutnya yang dapat menyelenggarakan pendidikan kesetaraan adalah :
- Sanggar kegiatan belajar (SKB)
- Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM)
- Lembaga Kursus
- Komunitas Belajar
- Pondok Pesantren
- Takmin Masjid/ Mushola dan Pusat Majelis Ta’lim
- Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
- Yayasan Badan Hukum atau Badan Usaha
- Organisasi Kemasyarakatan
- Organisasi Sosial Masyarakat
- Organisasi Keagamaan
- Unit Pelaksana Teknis (UPT) Diklat Perikanan
- UPT Diklat Pertanian
- UPT Diklat Transmigrasi
Penyelenggara tersebut harus mempunyai struktur organisasi yang sekurang‑kurangnya terdiri dari:
1) Ketua Penyelenggara
2) Tenaga
Pendidik : a). Tutor Mara Pelajaran, b). Nara Sumber Teknis (untuk
pelajaran berorientasi vokasional) atau c). Tutor kecakapan hidup
(sementara. Berlaku di 6 daerah uji coba)
Guna
mendukung proses belajar mengajar dalam program Pendidikan Kesetaraan
tersebut maka diperlukan adanya sarana dan prasarana penunjang, seperti :
- Tempat Belajar
Proses
belajar mengajar dapat dilaksanakan di berbagai lokasi dan tempat yang
sudah ada baik milik pemerintah, masyarakat maupun pribadi, seperti
gedung sekolah, madrasah, sarana‑sarana yang dimiliki pondok pesantren,
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), masjid, pusat‑pusat majelis
taklim, balai desa, kantor organisasi‑organisasi kemasyarakatan, rumah
penduduk dan tempat‑tempat lainnya yang layak digunakan untuk kegiatan
belajar mengajar
- Administrasi
Untuk menunjang kelancaran pengelolaan kelompok belajar diperlukan sarana administrasi sebagai berikut :
a. Papan nama kelompok belajar.
b. Papan Struktur orgainisasi penyelenggara.
c. Kelengkapan administrasi penyelenggaraan dan pembelajaran, yang meliputi:
i .Buku induk peserta didik dan tenaga pendidik.
ii. Buku daftar hadir peserta didik dan tenaga pendidik
iii. Buku keuangan/kas umum.
iv. Buku daftar inveritaris.
v. Buku agenda pembelajaran.
vi. Buku laporan bulanan tenaga pendidik.
vii. Buku agenda surat masuk dan keluar.
Buku tanda terima ijazah.
Buku daftar nilai peserta didik.
Dalam menjamin penyelenggaraan pendidikan kesetaraan berlangsung dengan baik, maka dilakukan pembinaan dan pengawasan:
a. Direktorat
Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah
melaksanakan pembinaan terhadap penyelenggaraan pendidikan kesetaraan
program Paket A, Paket B, dan Paket C melalui standar, norma, prosedur
dan acuan teknis pengelolaan kelompok belajar.
b. Kasubdin
Propinsi dan Kabupaten/Kota yang membidangi PLS membina pelaksanaan
penyelenggaraan, kegiatan belajar, evaluasi dan kegiatan lain yang
berkaitan.
c. Penilik Dikmas/TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) di Kecamatan memantau pelaksanaan kegiatan pendidikan dan pembelajaran secara rutin.
Sistem penilaian pendidikan kesetaraan dilakukan dengan:
a. Penilaian mandiri dengan mengerjakan berbagai latihan yang terintegrasi dalam setiap modul.
b. Penilaian formatif oleh tutor nelalui pengamatan, diskusi, penugasan, ulangan, proyek, dan portofolio, dalam. Proses tutorial.
c. Penilaian semester.
d. Ujian Nasional oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional.
Ujian
nasional untuk program Paket A, Paket B, dan Paket C dan dimaksudkan
untuk menyetarakan lulusan peserta didik dari pendidikan nonformal
dengan pendidikan formal/sekolah. Hal ini sesuai dengan Undang‑Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dail Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Lulusan
Ujian nasional program pendidikan kesetaraan memperoleh pengakuan,
lulusan Paket A setara dengan lulusan SD/Ml, lulusan Paket B setara
dengan lulusan SMP/MTs, dan lulusan Paket C setara dengan Lulusan
SMA/MA. Ujian Nasional diselenggarakan selama 2 kali setiap tahun yaitu
periode pertama pada bulan April dan Mei, kemudian periode kedua pada
bulan Oktober.
Peserta
Ujian nasional adalah warga belajar pada program Paket A, Paket B, dan
Paket C dengan persyaratan adiministratif sebagai berikut:
a. Terdaftar
sebagai peserta didik dan tercatat dalam Buku Induk, pada satuan
pendidikan nonformal penyelenggara Program Paket A, Paket B, atau Paket C
b. Memiliki STTB atau Ijazah atau Surat Keterangan Yang Berpenghargaan
Sama (SKYBS) dengan STTB/Ijazah dari satuan pendidikan yang setingkat
lebih rendah;
c. Duduk di kelas/tingkat terakhir (Kelas VI Untuk Paket A, Kelas III untuk Paket
B dan Paket C).
d. Telah menyelesaikan seluruh materi pembelajaran dan memiliki laporan hasil
penilaian/rapor;
d. Telah berumur sekurang‑kurangnya 12 tahun untuk Paket A, 15 tahun untuk Paket B, dan 18 tahun Paket C.
e.
Mata pelajaran yang diujikan sebagai berikut:
a. Paket A, meliputi mata pelajaran PPKn, Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan IPA
b. Paket B, meliputi mata pelajaran PPKn, Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan IPA.
c. Paket C IPS, meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Sosiologi, Tatanegara, Bahasa dan Sastra Indonesia, dan Ekonomi
d. Paket C IPA, meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Biologi, Kimia, Bahasa dan Sastra Indonesia, Fisika dan Matematika.
e. Paket
C Bahasa, meliputi mata pelajaran PPKn, Bahasa Inggris, Bahasa
Indonesia, Sejarah Budaya, Sastra Indonesia, dan Bahasa Asing pilihan
E. Pendidikan Kesetaraan Dan Pesan UUD 1945
Pendidikan
nasional memainkan peranan yang sangat penting, khususnya bagi
pembangunan kehidupan intelektual nasional. Amandemen Undang‑Undang
Dasar 1945 dengan tegas mengamanatkan pentingnya pendidikan nasional.
Pada Pasal 31 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga . negara berhak
mendapatkan pendidikan. Sedangkan pada Pasal 31 Ayat (2) berbunyi bahwa
setiap warga negara. Wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya.
Amandemen
ini hasil dari pengakuan bahwa pendidikan adalah institusi sosial utama
yang harus didukung oleh institusi sosial lainnya termasuk hukum,
sosial‑budaya, ekonomi, dan politik sebagai suatu kesadaran kolektif.
Pendidikan sepatutnya juga responsif terhadap ketidakseimbangan
struktur populasi penduduk, kesenjangan sosio‑ekonomi., kesenjangan
teknologi, penyesuaian sendiri terhadap nilai‑nilai baru dalam era
globalisasi; dan ini sepatutnya diarahkan kepada pembangunan karakter
nasional.
Pentingnya pendidikan tersebut, lebih lanjut diuraikan dalam UndangUndang Pendidikan Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 5 yang berbunyi:
1) Setiap warga negara. Mempunyai hak yang sama untuk memeproleh pendidikan yang bermutu
2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus
3) Warga
negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.
4) Warga negara yang memiliki potetisi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus..
5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Untuk
mewujudkan amanah tersebut maka diperlukan sinergi antara pemerintah,
swasta dan masyarakat. Peran masyarakat dalam pendidikan nasional,
kerutama keterlibatan di dalam perencanaan hingga evaluasi masih
dipandang sebagai sebuah kotak keterlibatan pasif. Iniasiatif aktif
masyarakat masih dipandang sebagai hal yang tidak dianggap penting.
Secara
jelas di dalam Pasal 8 UU No. 20/2003 disebutkan bahwa masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan
evaluasi program pendidikan. Peran serta masyarakat saat ini hanyalah
dalam bentuk Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, dimana proses
pembentukan komite sekolah pun belum keseluruhannya dilakukan dengan
proses yang terbuka dan partisipatif.
Kewajiban
pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan dasar pun hingga, saat ini
masih sangat jauh dari yang diharapkan. Masih terlalu banyak penduduk
Indonesia yang belum tersentuh pendidikan. Selain itu, layanan
pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan bermutu pun masih hanya di
dalam angan. Lebih jauh, anggaran untuk pendidikan (di luar gaji
pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) di dalam APBN maupun APBD
hingga saat ini masih di bawah 20% sebagaimana amanat Pasal 31 Ayat (4)
UUD 1945 dan Pasal 49 UU No. 20/2003, bahkan hingga saat ini hanya
berkisar diantara 2‑5%.
Akibatnya
adalah di berbagai daerah, pendidikan masih berada dalam kondisi
memprihatinkan. Mulai dari kekurangan tenaga pengajar, minimnya
fasilitas pendidikan hingga sukarnya masyarakat untuk mengikuti
pendidikan karena permasalahan ekonomi dan kebutuhan hidup. Pada
beberapa wilayah, anak‑anak yang memiliki keinginan untuk bersekolah
harus membantu keluarga untuk mencukupi kebutuhan hidup karena semakin
sukarnya akses masyarakat terhadap sumber kehidupan mereka.
Bila
berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya cenderung
mengekang kreativitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan
pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini
sangat membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas.
Pengekangan kreativitas ini disebabkan pula karena kentalnya paradigma
yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk
pemenuhan kebutuhan industri.
Sistem
pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih
cenderung mengeksploitasi kemampuan akademik. Indikator yang
dipergunakan pun cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga
nilai rapor maupun ijazah tidak serta merta menunjukkan kompetensi
peserta didik untuk bersaing atau bertahan dalam era industrialisasi dan
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economy).
Fakta
lain adalah berkembangnya pendidikan menjadi sebuah industri. Bukan
lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini
mengakibatkan terjadinya praktek jual‑beli gelar. Jual-beli ijazah
hingga jual‑beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan
terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya
bisnis‑bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang
tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah
memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan
hanyalah sebuah mimpi.( Adi Gumilar, 2006:7)
F. Pendidikan Kesetaraan Dan Wajib Belajar
Pendidikan nasional di Indonesia masih menghadapi tiga tantangan besar yang kompleks. Tantangan pertama, sebaga’
akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat
mempertahankan hasil‑hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk
mengantisipasi era global dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan
sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja
global. Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian sistem pendidikan nasional sehingga.
Dapat
mewujudkan proses pendidikan yang lebih demokratis, memperhatikan
keberagaman kebutuhan/keadaan daerah dan peserta didik, serta mendorong
peningkatan partisipasi masyarakat. Selain itu, pendidikan nasional juga
masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol, yaitu: (1)
masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya
kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen
pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu
pengetahuan dan teknologi di kalangan akademis.
Undang‑Undang
Dasar 1945 (Amandemen Bab XIII Pasal 31) dan Undang-Undang No. 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara tegas mengamanahkan
pentingnya pendidikan nasional bagi seluruh warga negara Indonesia.
Untuk itu, maka permasalahan tersebut perlu diatasi dengan segera guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem penyelenggaraan pendidikan
nasional dapat ditempuh melalui tiga jalur yaitu: formal, nonformal dan
informal.
Pendidikan
jalur formal sudah banyak dipahami oleh masyarakat, dimana sistem
penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara formal seperti yang banyak
terlihat di sekitar kita. Namun pendidikan nonformal dan informal atau
lebih dikenal dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) merupakan jalur
pendidikan yang masih banyak belum mendapat pemahaman dan perhatian yang
profesional dari pemerintah maupun masyarakat dalam sistem pembangunan
nasional. Minimnya pemahaman, baik yang berkenaan dengan peraturan
perundangan maupun dukungan anggaran menyebabkan pemerataan pelayanan
PLS bagi masyarakat di berbagai lapisan dan diberbagai daerah belum
dapat dilaksanakan secara optimal.
Pentingnya pendidikan nonformal, maka dalam UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 menyebutkan bahwa:
1) Pendidikan
nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan
pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau.
Pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.
(2) Pendidikan
nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
(3) Pendidikan
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja,
pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik.
(4) Satuan
pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim,
serta satuan pendidikan yang sejenis.
(5) kursus
dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal
pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk
mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri,
dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
(6) Hasil
pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program
pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah dengan
mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pemerintah
telah membentuk Direktorat Pendidikan Kesetaraan, Direktorat Jendral
Pendidikan Luar Sekolah, Departemen Pendidikan Nasional dengan tugas
utama untuk melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, pemberian
bimbingan teknis, dan evaluasi di bidang pendidikan kesetaraan.
Peran
pendidikan kesetaraan sangat strategis dalam rangka memberikan bekal
pengetahuan dan program penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9
tahun. Mengingat, warga belajar yang dilayani adalah masyarakat yang
putus sekolah karena keterbatasan ekonomi, TKI di luar negeri, calon
TKI, masyarakat di daerah‑daerah khusus, seperti daerah perbatasan,
daerah bencana, dan daerah yang terisolir dengan fasilitas pendidikan
belum ada, dan sebagainya, maka pendidikan kesetaraan akan sangat
membantu dalam memperoleh pendidikan.
Warga
belajar yang sangat spesifik demikian, maka kurikulum yang diajarkan
juga berbeda dengan pendidikan formal. Misal, program Paket B (setara
SMP/MTs), pembagian bobot muatan substansi kajian pengetahuan adalah
60%, dan muatan keterampilan hidup adalah 40%. Selain itu, layanan
pendidikan kesetaraan, baik bagi masyarakat pedesaan maupun masyarakat
miskin di perkotaan tetap mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain:
(1) perencanaan integratif, (2) memahami budaya setempat, (3)
penguasaan bahasa, (4) akses kepada pendidikan dasar yang mengacu kepada
keterampilan hidup yang sesuai dengan potensi lokal, budaya, dan
sumberdaya.
Peran
strategis pendidikan kesetaraan Paket B terhadap program wajib belajar
secara nasional mencapai sekitar 3%. Sedangkan jumlah lulusan warga
belajar yang mengikuti program Paket A, Paket B, dan Paket C terus
meningkat. Secara nasional, program Paket C antara tahun 2004-2005
terjadi kenaikan jumlah lulusan sebesar 76,43%. Warga didik yang
mengikuti program Paket A sekitar 59.109 orang pada tahun 2004,
sedangkan tahun 2005 meningkat hampir dua kali lipat yaitu 104.284
orang. Demikian pula halnya dengan program Paket B dan Paket C, terjadi
kenaikan lulusan sebesar 15,93% dan 56,36 % .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar